Rabu, 03 Juni 2009

Mengajar dengan Bahasa Cinta / sebuah Renungan bagi Pengajar


"Tuhan kirimkanlah aku… guru yang baik hati yang mencintai aku apa adanya." Itulah sepenggal pelesetan lagu Dewa syarat makna dan merupakan ungkapan seorang siswa yang sedang merana dalam belajarnya.

Berdasarkan hasil survei kecil-kecilan kepada teman-teman guru di sekolah kami, ternyata 9 di antara 10 guru pernah mendapat pengalaman yang tidak menyenangkan ketika mereka masih duduk di bangku SD, SMP, atau SMA sekitar 20 hingga 30 tahun yang lalu. Ingatan mereka, termasuk penulis, masih segar ketika mendapat hukuman spontan dari guru karena divonis melakukan suatu kesalahan. Misalnya, mengganggu teman, berbicara atau bermain ketika guru sedang menerangkan, tidak mengerjakan PR, tidak bisa menjawab soal dengan benar, dan nyontek ketika ulangan. 

Berbagai macam hukuman pun segera kami terima, disuruh berdiri di depan kelas, dijewer bergiliran oleh teman sekelas, dijemur, dan membersihkan kamar mandi. Bahkan, penulis pernah dimasukkan ke dalam lemari cukup lama, baru dibuka setelah menangis keras.

Hukuman itu juga dibumbui dengan kata-kata pedas yang melukai hati, misalnya: "Dasar anak nakal, kerjanya mengganggu teman terus!", "Dasar bodoh, diterangkan berulang-ulang masih saja tidak bisa!", "Anak malas kamu, masak PR 10 soal saja tidak selesai!", "Yang bekerja tangan, bukan mulut!", dan sebagainya. Kalimat-kalimat seperti itu sering meluncur dari bibir guru dengan ekspresi seperti tokoh antagonis dalam sinetron. Interaksi pembelajaran demikian sebenarnya adalah pelajaran mendalam tentang kebencian dan dendam.

Dengan hukuman dan lontaran kata-kata seperti itu, seorang guru mengharapkan siswanya akan menjadi lebih baik, tetapi yang terjadi adalah kebalikannya karena sesungguhnya itu adalah kata-kata yang menjatuhkan mental atau motivasi belajar anak. Hasil yang didapatkan dari kata-kata itu adalah "kejatuhan mental" anak, bukan "kebangkitan mental" anak. Akibatnya, hubungan antara guru dan siswa menjadi kaku dan suasana belajar pun tidak menyenangkan.

Sebaik apa pun metode pembelajaran yang diterapkan seorang guru, semuanya akan tetap menjadi sia-sia apabila guru tersebut lupa cara membangun hubungan yang baik dengan para siswanya. Menurut DePorter (2007:25), satu hal yang dapat menarik minat siswa untuk belajar adalah guru membangun hubungan dengan siswanya sebagai manusia yang memiliki rasa cinta. Oleh karena itu, bahasa cinta adalah salah satu kunci sukses bagi semua guru untuk membangun sebuah hubungan yang indah dengan siswa agar tercipta suasana belajar yang menyenangkan.

Memakai perkataan yang baik untuk membangun adalah suatu hal yang jauh lebih bijaksana daripada memakai perkataan yang kotor. Maxwell (1999:35) berpendapat bahwa seseorang dapat membangun sebuah hubungan yang indah dengan orang lain apabila dia sanggup mengatakan:

1. Enam kata terpenting: Saya mengakui telah melakukan kesalahan besar.

Sosok seorang guru adalah sosok yang dikagumi dan dihormati. Hal ini terkadang membuat sang guru merasa seperti "diagungkan" sehingga akan menjadi sangat memalukan baginya untuk mengakui kesalahan yang mungkin telah dia perbuat kepada para siswanya. Salah satu alasannya adalah karena takut kehilangan wibawa. Sesungguhnya, mengakui kesalahan adalah lebih baik daripada menutupi kesalahan karena wibawa seorang guru akan terlihat dari apa yang telah dia lakukan. Sikap mengakui kesalahan dan mau minta maaf menunjukkan kebersihan hati seseorang.

2. Lima kata terpenting: Anda melakukan pekerjaan dengan baik.

Memuji siswa atas keberhasilan yang telah dicapai atau memuji atas tiap usaha yang telah dia lakukan dalam pembelajaran ternyata mampu membantu meningkatkan motivasi belajar. Dengan memberikan pujian, berarti seorang guru sedang menumbuhkan kepercayaan diri pada siswanya sehingga siswa tersebut dapat mendorong dirinya sendiri untuk dapat lebih maju dalam meraih kesuksesan belajar. Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang sama-sama perlu dihargai.

3. Empat kata terpenting: Bagaimana menurut pendapat Anda?

Bertanya tentang pendapat siswa adalah sebuah hal luar biasa yang sebaiknya dilakukan oleh guru. Dengan bertanya demikian, seorang guru memosisikan diri menjadi seorang teman yang membutuhkan pendapat dan hal ini akan membuat siswa belajar untuk saling menghargai.

4. Tiga kata terpenting: Jika Anda berkenan...

Menanyakan dan memberikan pilihan-pilihan kepada siswa sehubungan dengan proses pembelajaran akan membuat siswa berlatih untuk mengambil keputusannya sendiri tanpa ada unsur pemaksaan. Siswa terdidik untuk terus berpikir kreatif dalam mencari pemecahan suatu masalah.

5. Dua kata terpenting: Terima kasih.

Kata-kata "terima kasih" adalah sebuah ungkapan yang bermakna luas. Ketika seorang siswa mampu mengatakan terima kasih baik kepada teman atau gurunya, berarti dia memiliki kepekaan bahwa apa yang telah berhasil dia dapatkan adalah bukan karena kehebatannya sendiri, melainkan ada orang lain yang turut membantu. Dari sinilah siswa dapat belajar untuk menyadari bahwa bekerja sama merupakan hal yang sangat baik untuk dilakukan.

6. Satu kata terpenting: Kita.

Kata "kita" menjadi sangat penting ketika guru mengajak siswanya untuk masuk dalam proses belajar-mengajar. Kata "kita" mengandung makna kesatuan dan kebersamaan. Dalam hal ini, kesatuan dan kebersamaan mutlak diperlukan untuk mencapai sebuah tujuan belajar. "Bawalah dunia siswa ke dunia kita dan antarkan dunia kita ke dunia siswa (quantum learning). Semakin jauh Anda memasuki dunia siswa, semakin jauh pengaruh yang dapat Anda berikan kepada mereka." (Degeng, 2006).

7. Satu kata paling tidak penting: Saya

Kata "saya" menjadi tidak penting di sini karena kata "saya" menunjukkan ego yang berkonotasi negatif. Pengagungan terhadap kemampuan diri sendiri dan tidak memedulikan orang lain menyebabkan anak memiliki pola pikir yang mengarah pada kepentingan diri sendiri. Dia akan mencontoh sikap egois yang ditunjukkan sang guru.

8. Satu kata terburuk: Jangan! Dilarang! Awas! Harus!

Kata-kata seperti ini sangat sering dikatakan oleh guru terhadap siswanya. Segala sesuatu yang dikerjakan oleh siswa harus sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh guru. Tidak ada tempat untuk mengembangkan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran.

9. Satu kata terindah: Silakan..

Setiap orang mendambakan untuk dapat melakukan hal-hal yang sesuai dengan apa yang dirindukan. Ketika siswa menyatakan kepada guru tentang kerinduannya menyampaikan suatu keinginan atau melakukan suatu kegiatan, satu-satunya kata yang diharapkan didengar adalah kata "silakan".

Sebagai makhluk sosial, manusia merupakan indvidu yang memerlukan manusia lain untuk dapat hidup di dunia. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah setiap individu memahami dan menguasai hukum yang berlaku antarmanusia. Sepuluh hukum hubungan antarmanusia menurut Maxwell (1999:6: 1) berbicara kepada orang lain, 2) tersenyum kepada orang lain, 3) memanggil orang lain dengan namanya, 4) bersahabat dan suka menolong, 5) menjadi orang yang ramah, 6) menunjukkan ketertarikan yang tulus pada orang lain, 7) mudah memuji, 8) tenggang rasa terhadap orang lain, 9) terbuka, dan 10) siap memberikan pelayanan.

Jika guru telah sanggup menjalankan 10 hukum tersebut, akan terciptalah hubungan yang harmonis sehingga pembelajaran akan menjadi menyenangkan karena baik guru maupun siswa sejahtera. Bahasa cinta bukanlah bahasa yang sulit diaplikasikan. Jika telah ada niat baik ketika berbicara, maka setiap individu pasti sanggup memilih dan menggunakan kata-kata yang sedap didengar.

Apabila seorang guru telah mampu berkata-kata dalam bahasa cinta kepada siswanya dan begitu juga sebaliknya, maka akan terjalin hubungan yang harmonis antara guru dan siswa. Hal inilah yang akan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Belajar bukan lagi sebuah hal yang membebani dan menakutkan, tetapi belajar adalah sesuatu yang menyenangkan, bebas, santai, penuh ketakjuban, dan menggairahkan.

Dengan bahasa cinta, hubungan yang kaku dan monoton antara guru dan siswa sudah saatnya diubah menjadi sebuah hubungan yang harmonis dan penuh kasih sayang sehingga tidak ada lagi kata-kata kotor yang muncul. Sebagai gantinya, muncul kata-kata terpuji yang bersumber dari kebersihan hati seorang guru untuk menumbuhkan pribadi-pribadi unggul. (*)
disadur dari Akhmad Basori
Guru SD Negeri Wonoasih II Kota Probolinggo


Tidak ada komentar: