Selasa, 16 April 2013

Berpikir Kritis : Kenapa Begini, Kenapa Begitu?


Kenapa Begini, Kenapa Begitu?

Anak kecil yang banyak tanya sering memusingkan orang tua padahal itu merupakan bagian dari sikap kritis yang penting. Temukan tips untuk menyikapinya.

 Pertanyaan “Kenapa begini? Kenapa Begitu?” sudah dimulai ketika anak berusia lebih kurang 2 tahun. Mulanya para orang tua antusias sekali untuk menjawab pertanyaan “hebat” dari anaknya yang bukan bayi lagi ini. Namun pertanyaan itu tidak akan berhenti dengan 1-2 jawaban saja. Untuk satu topik bisa ada puluhan “kenapa” yang diajukan, bahkan untuk pertanyaan yang sama, dengan jawaban yang sama, si anak bisa mengucapkannya 6-7 kali. Dari sabar, orang tua bisa menjadi bosan atau lelah menjawab, jengkel, bahkan akhirnya menyerah “kalah” karena tak tahu lagi bagaimana menanggapi “kenapa” yang tak habis-habisnya itu. Rasa ingin tahu yang besar adalah bagian dari proses berpikir kritis, yang merupakan hal penting dalam kehidupan seseorang.

 Apa itu Berpikir Kritis?

 Berpikir kritis adalah cara berpikir logis, dimana kita memecah-belah suatu masalah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil serta menganalisanya. Bagian dari berpikir kritis adalah: kemampuan menggolongkan, memilah, membandingkan persamaan dan perbedaan (Church, 1993). Beberapa ciri anak yang berpikir kritis adalah: penuh rasa ingin tahu dan ingin menjelajah/bereksplorasi.

 Mengapa Berpikir Kritis Penting?

 Kemampuan menganalisa masalah membantu kita meneliti penyebab masalah, kemudian mencari solusinya. Dengan kata lain berpikir kritis adalah modal untuk pemecahan masalah, yang hadapi manusia sepanjang hidupnya dari mulai bayi sampai dewasa.

 Anak yang terbiasa sejak kecil berpikir kritis akan tumbuh menjadi orang bisa memecahkan masalah secara mandiri. Di sekolah, anak yang bersikap kritis adalah murid yang paling mudah digugah hasrat belajarnya, mereka antusias dan penuh motivasi, siap untuk belajar berbagai hal. Oleh sebab itu pola berpikir kritis adalah salah satu sikap belajar yang harus dimiliki seorang anak untuk bisa belajar dengan baik di sekolah.

 Penghambat Sikap Kritis

 Setiap anak pada dasarnya mempunyai rasa ingin tahu yang besar sejak ia bayi. Memasukkan barang apapun ke mulut adalah contohnya. Begitu anak mulai bisa bicara, rasa ingin tahunya diekspresikan dengan bertanya. Bahkan dengan kemampuan motorik yang semakin membaik, anak mulai menganalisa masalah secara kinestetik (membongkar mainan karena ia ingin melihat isi dan cara kerja suatu benda misalnya). Namun tak jarang sikap kritis ini secara pelan tapi pasti berkurang hingga tak bersisa lagi, akhirnya anak berhenti bertanya, berhenti mengeksplorasi, dan menjadi orang yang apatis. Beberapa faktor lingkungan yang menghambat sikap kritis anak:

 1. Takut. Anak akan enggan untuk mencoba atau bereksplorasi karena takut akan risiko tidak menyenangkan yang akan ia alami seperti: ancaman dan hukuman dari orang-orang terdekat (orang tua, pengasuh, guru, dll). Contohnya: “Kalau kamu tidak duduk diam nanti disuntik dokter lho atau aku kasih kamu ke satpam”, atau anak yang dihukum karena “mengganggu” papanya yang sedang makan dengan berbagai pertanyaan.

 2. Larangan. “Jangan, nanti kotor, nanti jatuh, nanti rusak”,”jangan ribut”, “jangan banyak tanya kerjakan saja!” Kata “jangan” dan “tidak boleh” yang diucapkan dalam keseharian kita berinteraksi dengan anak-anak tanpa disadari telah menciptakan “pagar” dan “tembok” yang membatasi anak dalam bereksplorasi.

 3. Yang benar Cuma Satu! Memberikan 1 jawaban (yang terkesan mutlak) untuk setiap hal yang ditanyakan anak memang menghemat waktu dan tenaga. Tetapi sama sekali tidak mendorong anak untuk melihat alternatif lain. Misalnya: daun harus diwarnai hijau, pensil adalah ”hanya” alat tulis, menulis harus dengan tangan kanan.

 4. Tidak ada Tanggapan Positif. Seorang anak mempunyai kebutuhan untuk dicintai dan dihargai. Jika saat anak menunjukkan sikap kritisnya ia tidak mendapatkan tanggapan (orang tua tidak menjawab, tidak ber-respons apapun) atau mendapat tanggapan negatif seperti: diomeli, disuruh diam, ditertawakan, dilecehkan, tentu saja anak akan berpikir bahwa banyak bertanya atau bersikap kritis adalah suatu hal yang buruk.

 Bagaimana Mengembangkan Sikap Kritis Anak Sejak Dini:

 Lewat permainan. Beberapa proses berpikir kritis bisa dilatih dengan permainan:

 Memilah: memisah-misahkan mainan binatang dan non-binatang.
 Menggolongkan: mengelompokkan mainan binatang menurut karakteristik tertentu (misal: jumlah kaki, habitat, dll)
 Membandingkan: mencari gambar yang sama di antara banyak gambar, mencari perbedaan antara 2 gambar yang tampak serupa.
 Berikan pertanyaan terbuka. Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang mempunyai jawaban lebih dari 1. Bukan sekedar “ya/tidak” atau “benar/salah”. Contohnya: Apa saja…? Ada lagi…? Yang lainnya…?

 Dorong anak untuk mencoba sendiri sebelum Anda membantu. Biarkan anak mencari dulu sendiri jawaban terhadap permasalahannya. Contohnya: Kalau menurut kamu, kenapa…? Mama mau tahu pendapat kamu dulu.

 Berpikir divergen. Latih anak untuk melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang dan mencari solusi dengan lebih dari satu alternatif. Contoh: kenapa sopir cari kerja? dipecat, dia tidak suka dengan pekerjaannya, gajinya kecil, dll. Supaya cepat dapat kerja baru? Minta bantuan teman, pasang iklan, dll.

 Sediakan banyak waktu untuk anak mengekspresikan diri. Melatih berpikir kritis membutuhkan waktu, dalam suasana yang santai, tidak bisa terburu-buru apalagi tegang. Luangkan banyak waktu Anda bersama anak untuk berbincang ataupun bermain.

 Menanggapi dengan serius. Perlihatkan bahwa Anda sungguh berminat pada apa yang sedang dikerjakan/dibicarakan anak dan menghargainya, lewat:

 Bahasa tubuh dan ekspresi wajah: kontak mata, senyum, ekspresi antusias.
 Sikap positif: responsif (tidak malas-malasan, atau sambil mengerjakan hal lain), dan menerima (jangan mengolok atau melecehkan, meskipun ungkapan anak terkesan konyol atau tidak masuk akal).


 Mari kita bantu anak-anak kita agar berpikir kritis sejak dini, dengan juga mempraktikkan pola pikir kritis dalam diri sendiri. Bagaimanapun anak paling banyak belajar dari orang-tuanya melalui contoh!

Tidak ada komentar: