SEKOLAH SWASTA NASIONAL, BERKARYA DALAM PENDIDIKAN SEJAK TH. 1957, MEMPERHATIKAN TUMBUH KEMBANG SISWA SESUAI AGAMA YANG DIANUT ( BUDHA, HINDU, ISLAM, KATOLIK, KRISTEN, KONGHUCU ) MENGAJARKAN SIKAP TOLERANSI BERAGAMA DAN SOSIALISASI BERMASYARAKAT LOKASI SEKOLAH : PG/TK/SD DAPENA Jl. Dinoyo 33, Surabaya ( 5678227-5634475 ) SMP/SMA DAPENA Jl. Sumatera 112-114, Surabaya ( 5035535-5031453 ) fax. 5053646 email : sekolahdapena@gmail.com twitter: @sekolahdapena facebook: yayasandapena sekolahdapena
Kamis, 13 Agustus 2009
KITA KERJA, YUK!
KITA KERJA, YUK!
Kendati masih balita, dia sudah bisa diajak kerja, lo. Selain akan menumbuhkan rasa tanggungjawab, juga baik untuk kepribadiannya kelak. Tapi, pekerjaan apa yang pantas dilakukan si kecil dan bagaimana cara melatihnya? Ketika sedang bersih-bersih rumah, si kecil yang berusia 4 tahun nyeletuk, "Bunda, aku mau nyapu." Nah, apa rekasi reaksi Anda? Kebanyakan, sih, akan mengatakan, "Nggak usah, biar Bunda saja. Kamu, kan, masih kecil." Tentu saja jawaban itu tidak bertujuan melecehkan si kecil karena kita tahu persis, ia belum bisa melakukan hal itu.
Tapi pernahkah terpikir oleh kita, jawaban macam itu justru akan ditangkap anak sebagai, "Saya tak mampu. Buktinya, Bunda nggak percaya padaku." Nah, berabe, kan, jika anak sudah punya anggapan bahwa dirinya tak mampu (dan "vonis" itu dijatuhkan oleh ibu)? Sebab itulah, para ahli tak setuju bila ayah dan ibu cenderung melarang atau menolak kala anak menunjukkan minatnya terhadap suatu pekerjaan. Selain akan menumbuhkan perasaan tak mampu, harga diri si kecil juga terluka. Apa pun juga, anak tetap memerlukan perasaan dihargai bahwa ia mampu melakukan sesuatu. Dengan kata lain, berilah ia kesempatan meski kita tahu persis, ia tak bisa melakukannya dengan sempurna.
TIDAK MANDIRI
Melatih anak bekerja, ujar psikolog Zahrasari Lukita Dewi, S.Psi., sangat bermanfaat bagi kehidupan anak kelak. Selain anak mengenal kemampuannya, ia juga jadi tahu bahwa setiap individu punya tanggung jawab. Minimal, terhadap dirinya sendiri atas apa yang ia lakukan atau yang ia miliki. Ia pun jadi tahu disiplin, kapan waktu main, belajar, dan bekerja. "Bila anak tak pernah dilatih bekerja, ia tak pernah belajar tentang apa yang harus dilakukannya dan mengapa," ujar Zahra. Apalagi bila orang tua sampai mengatakan, "Kamu mau gosok gigi atau tidak? Kamu sendiri, lo, yang nanti merasakan akibatnya." Ujaran macam ini hanya akan menumbuhkan sikap tidak percaya diri bahwa ia dapat mengerjakannya.
Begitu pula jika kita cenderung memanjakan anak. Saking sayangnya, anak disediakan sejumlah "asisten" yang selalu siap membantunya. Mau pakai sepatu, tinggal sodorkan kaki. Mau makan, tinggal buka mulut. "Sungguh, ini bukan kebiasaan baik. Anak menjadi kurang mandiri, tak punya rasa tanggung jawab, dan amat bergantung pada orang lain," ingat Zahra. Tak jadi soal bila hasil kerja si kecil masih belum baik atau rapi. Memang bukan itu, kok, yang terpenting, melainkan penanaman pola kebiasaan tertentu pada anak. Jadi bukan agar anak bisa melipat selimut dengan rapi, tapi membiasakannya melipat selimut. "Lebih pada membiasakan anak untuk disiplin dan bertanggung jawab terhadap kepentingan dirinya dan apa yang ia lakukan," terang Zahra.
ABAIKAN JENIS KELAMIN
Jadi, Anda setuju, bukan, melatih anak bekerja? Nah, sebelum melatih, menurut Zahra, perhatikan dulu usia si kecil. Sebab lewat usia, kita bisa mengetahui sejauh mana kemampuan anak. Baik secara fisik, emosional, dan sosial. "Sejak anak sudah bisa berinteraksi dengan dunia di luar dirinya dan secara fisik sudah kuat, berarti ia sudah bisa dilatih bekerja untuk hal-hal yang sifatnya harus dibentuk. Biasanya di usia prasekolah, yaitu 3 sampai 5 tahun," terangnya. Pekerjaan apa yang cocok baginya? Yang utama adalah yang berkaitan dengan diri si anak sendiri. Mulai dari bangun tidur, mau pergi "sekolah", pulang "sekolah". Seperti belajar mandi, menyabuni badan, memakai sepatu, dan menyisir rambut. Semua itu dilakukan tanpa bantuan orang lain.
Selanjutnya, sesuai usia dan kemampuan si anak, jenis pekerjaannya makin diperlebar. Semisal merapikan tempat tidur, membantu di dapur, di kebun, membantu mencuci mobil, dan sebagainya. Yang tak kalah penting, sambung Zahra, "Sebaiknya pekerjaan yang ditugaskan pada anak, jangan dibedakan berdasar jenis kelamin!" Bahwa ada yang dinamakan pekerjaan lelaki dan pekerjaan perempuan, itu semata karena faktor budaya. "Jadi, tak ada salahnya anak lelaki dilatih menyapu dan membantu di dapur atau anak perempuan diajak mencuci mobil. Setiap anak harus tahu, apa yang ia lakukan merupakan bagian dari tanggung jawabnya," tuturnya.
Lagipula dengan mendorong anak mempelajari berbagai pekerjaan akan membuatnya memiliki sikap lebih terbuka dan mudah menyesuaikan diri. "Anak akan mampu mengurus diri sendiri bila kelak dewasa. Juga akan lebih menghargai pekerjaan orang lain," terang staf pengajar pada Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta ini.
BERI CONTOH
Saat melatih si kecil bekerja, orang tua diminta tak hanya sekedar menyuruh atau memberi perintah. Apalagi terhadap anak usia 3 tahun yang masih belum memahami arti perintah. Ia belum sepenuhnya mengerti apa yang harus dilakukan sesuai perintah. "Ajak ia bekerja sambil kita memberi contoh!" kata Zahra. Misalnya saat mengajaknya menggosok gigi, katakan, "Ambil dulu airnya. Sekarang sikat giginya diberi odol..."
Selain itu, anak usia prasekolah sedang kuat-kuatnya meniru. Mereka tertarik terhadap apa yang dilakukan orang tuanya dan kemudian menirunya. Jika Anda memintanya untuk menyikat gigi sebelum tidur sementara si anak tak pernah melihat Anda melakukannya, besar kemungkinan ia akan menolak. Dalam memberi contoh, kita tak harus secara jelas meminta anak untuk memperhatikan. Misal, "Lihat, nih, Mama sedang menyikat gigi," atau, "Lihat, nih, Mama sedang menyapu." Sebab, meski anak tak melihat langsung, tapi sebenarnya ia diam-diam mengamati.
Yang juga harus diperhatikan, tambah Zahra, beri ia penjelasan mengapa ia harus melakukan sesuatu pekerjaan. "Anak usia 3 tahun biasanya tak banyak bertanya bila diminta melakukan sesuatu. Paling sering ia bertanya, kenapa? Beda dengan anak usia 4-5 tahun, seringkali bertanya dan pertanyaannya pun lebih dalam. Kenapa harus rapi? Kalau tidak rapi bagaimana? Ia pun suka meminta pendapat orang tuanya akan apa yang ia lakukan. Apakah boleh melakukannya begini atau begitu," paparnya.
KOREKSI DIRI
Sering terjadi anak merajuk dan malas atau menolak tugas. Ini wajar saja dalam membentuk pola mengingat anak usia 3-5 tahun belum terbentuk polanya. Anak pun belum tahu persis manfaat langsung bagi dirinya. "Seusia itu anak masih hedonis, masih bersenang-senang dan bermain-main, melakukan apa yang enak buat dirinya," terang Zahra. Yang penting, jangan bosan memberinya pengertian. "Kalau kamu tidak menyikat gigimu, nanti gigimu bisa rusak." Jadi, anak harus tahu bahwa sesuatu ada konsekuensinya. Begitu pun kala anak melakukan kesalahan atau gagal dalam pekerjaannya. "Beri tahu apa yang seharusnya ia lakukan dan bagaimana melakukannya dengan benar," nasehat Zahra.
Jangan menghukum anak karena hukuman tak memberi tahu pada anak mengenai "apa yang harus dilakukan" sebagai ganti atas "apa yang tak boleh dilakukan". Toh, kita belum bisa menjamin, pola yang kita bentuk itu sudah terjadi, karena anak masih dalam taraf belajar atau latihan. Di sisi lain, orang tua harus rajin melakukan koreksi diri. Mungkin saja kegagalan anak melakukan suatu tugas, karena pekerjaan itu melebihi batas kemampuannya. Anak usia 3 tahun, misalnya, disuruh menyemir sepatu. Tentu kita tak bisa berharap ia akan melakukannya dengan baik. Atau anak umur 5 tahun belum bisa mandi sendiri. Boleh jadi karena sebelumnya Anda tak pernah melatih si kecil mandi sendiri. Maka jangan katakan, "Sudah besar, kok, enggak bisa mandi sendiri!" atau memarahinya. Nah, mulailah melatihnya dan membiasakan ia mandi sendiri.
Menuntut anak melakukan suatu pekerjaan yang belum pernah diajarkan kepadanya maupun yang melebihi batas kemampuannya, hanya akan membuatnya frustrasi. Akibatnya, anak memaksakan dirinya untuk melakukan daripada dimarahi atau dihukum ayah/ibunya. Atau sebaliknya, anak menolak sama sekali.
PERLU HADIAH
Sebaliknya bila anak melakukan pekerjaan dengan baik, berilah pujian secara spontan. Katakan, "Lihat, tempat tidurmu jadi rapi. Kamu berhasil melakukannya." Atau, "Wah, gigimu putih bersih. Itu karena kamu rajin sikat gigi." Pujian, menurut Zahra, bukanlah imbalan melainkan sebagai penguat. Anak akan senang bahwa apa yang ia lakukan dihargai. Ini akan mendorongnya untuk melakukan tingkah laku itu lagi. Apalagi anak usia ini suka sekali mengatakan, "Ibu, aku pintar, kan? Aku bisa, kan?"
Pujian juga bisa disertai ungkapan afeksi seperti pelukan, ciuman, usapan kepala, tepukan di bahu, dan sebagainya. "Ungkapan afeksi ini merupakan pendorong yang paling penting dapat kita berikan kepada anak," kata Zahra. Bagaimana dengan imbalan hadiah? Misal, anak dijanjikan akan dibelikan mobil-mobilan atau jalan-jalan ke Dunia Fantasi apabila ia bisa merapikan tempat tidurnya? Zahra agak keberatan. "Sepertinya, kok, enggak sebanding, ya," ujarnya. Zahra berpendapat, hadiah lebih pantas diberikan untuk hal-hal yang sifatnya mengandung prestasi yang harus diraih anak. Misalnya jika nilai menggambarnya bagus atau ia berani tampil menyanyi di depan kelas. Sehingga anak akan berusaha untuk memperjuangkannya.
Bila kita terlalu mengumbar hadiah yang sifatnya cukup berharga, Zahra khawatir anak akan terlalu biasa dan sangat menantikannya. Akibatnya, satu ketika kita bakal kebingungan sendiri. "Sesekali bolehlah kita berikan yang kecil-kecil seperti es krim atau makanan favorit anak," katanya. Itu pun dalam keadaan, misalnya anak merajuk, banyak hal yang sudah dikerjakan, atau tugas tersebut agak susah dan saat itu ia ingin es krim. Katakan saja, "Ya, nanti Mama belikan es krim. Tapi bereskan dulu, dong, tempat tidurnya." Biasanya anak mau. Tapi tentunya jangan sampai hal ini menjadi kebiasaan. Karena bisa-bisa, anak mau melakukan suatu pekerjaan hanya karena ia ingin mendapatkan imbalan. Celaka, kan?
Sumber : Tabloid Nakita
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar