“Anak saya ketika belum sekolah sangat ingin bersekolah, setelah bersekolah kok sekarang dia jadi takut ke sekolah? Katanya gurunya galak!”
Di tengah carut marutnya pendidikan kita ungkapan ini mungkin saja pernah kita dengar. Jika ungkapan ini dapat dijadikan acuan, tentu dapat dimunculkan pertanyaan, kenapa?
Thomas Amstrong dalam bukunya, “Setiap Anak Cerdas” menulis sebagai berikut. Di tahun 1980-an John Goodlad mantan dekan School of Education di UCLA, dan rekan-rekannya mengunjungi sekitar seribu ruang kelas di Amerika Serikat. Gambaran yang diberikannya adalah dunia gersang tanpa kegembiraan dalam skala besar. Goodlad menulis, “Kami jarang melihat tawa, sikap antusias yang berlebihan, atau letupan kemarahan yangdirasakan bersama. Kurang dari 3 persen waktu kelas digunakan untuk pujian, komentar menyakitkan, ekspresi sukacita atau humor, atau luapan spontan seperti ‘wow’ atau ‘asyiik’.
Setiap hari, kurang dari 1 persen waktu belajar dipakai untuk melibatkan murid dalam berbagi pendapat atau secara terbuka membahas sesuatu masalah atau topik. Semua ruang kelas sekolah dasar didominasi guru, sedangkan murid tidak berwenang menentukan apapun. Sejak itu keadaan malah menjadi semakin buruk. Meski di era tahun 1990-an terjadi gelombang reformasi, tampaknya sekarang ada pergerakan kembali ke situasi ruang kelas yang bahkan lebih suram,” demikan Goodlad.
Apa yang terungkap dari hasil penelitian ini adalah apa yang terjadi di Amerika Serikat, bagaimana dengan Indonesia? Agaknya persoalan guru dan murid dimanapun agaknya sama. Guru yang berpenghasilan rendah dengan setumpuk tugas ( ini lho tugas guru: 1. Mendidik, 2. Mengajar, 3. Menilai, 4. Mendokumentasikan Hasil Penilaian, Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi: 5. Mengenal karakter dan potensi siswa satu persatu, 6. Menyusun Rencana Pembelajaran, 7. Membuat Silabus, 8. Melaksanakan Remedi, 9. Melakukan Pengayaan). Belum lagi urusan dapur yang enggak pernah stabil.
Tidak salah jika teman penulis Shinse Yap - yang tinggal di Cengkareng Jakarta Barat dan dari tubuhnya bisa keluar energi listrik ratusan volt – berkata, “Guru itu penyakitnya ya darah tinggi, kalo enggak ya Mag.”
Soal murid tak kurang peliknya. Saat ini murid dimanapun di dunia diserang dengan apa yang disebut “westernmind”, kapitalis-hedonis, suatu gaya hidup yang memunculkan paradigma; sukses itu identik dengan mobil mewah, rumah bagus, uang banyak, perempuan cantik, dan bergaya hidup barat, kalo enggak ya enggak modern. Seperti manusia dewasa, murid-murid juga “diserang” oleh perubahan situasi yang tidak jelas arahnya. Nilai-nilai agama dan tradisi yang diajarkan oleh leluhur menjadi jungkir balik ketika harus berhadapan dengan acara-acara televisi yang menampilkan seks bebas, menjanjikan sukses dan terkenal dalam sekejap asal mampu tampil menarik dan bisa sedikit tarik suara dan lain-lain acara yang menafikan: Kerja Keras, Kerja Cerdas, Cinta Ilmu Pengetahuan, Keimanan dan Ketaqwaan.
Dua figur dengan persepsi yang berbeda tentang hidup, bertemu dalam satu ruang yang bernama kelas. Figur yang pertama, guru dengan tugas dan persoalan pribadi yang bisa bikin dia stress, figur yang kedua, murid yang terombang-ambing dalam pusaran perubahan nilai-nilai yang maha dahsyat, yang bisa membuat dia stress dan berujung pada narkoba.
Apa yang terjadi jika kedua figur ini tidak dapat membangun kesepakatan- kesepakatan? Kedua-duanya stress, hasilnya adalah kelas yang muram, belajar mengajar hanya sekedar rutinitas dan menggugurkan kewajiban tanpa makna.
Dalam setiap situasi selalu ada jalan keluar untuk sebuah solusi. Barangkali belajar yang menyenangkan yang penulis cuplik dari bukunya Bobi Deporter : Quantum Teaching/Learning bisa dijadikan renungan dan acuan. Bobbi Deporter, menamai Kerangka Belajar dan Mengajar Interaktif lewat Quantum Teaching/Learning dengan: TANDUR, akronim dari:
TUMBUHKAN
Tumbuhkan minat belajar siswa dengan memuaskan rasa ingin tahu siswa dalam bentuk: Apakah Manfaatnya BAgiKu (AMBAK) jika aku mengikuti topik pelajaran ini dengan guru anu?
Tumbuhkan suasana yang menyenangkan di hati siswa, dalam suasana relaks, tumbuhkan interaksi dengan siswa, masuklah ke alam pikiran mereka dan bawalah alam pikiran mereka ke alam pikiran Anda, yakinkan siswa mengapa harus mempelajari ini dan itu, belajar adalah suatu kebutuhan siswa, bukan suatu keharusan.
Tumbuhkan NIAT YANG KUAT pada diri Anda bahwa Anda akan menjadi guru dan pendidik yang hebat. Tumbuhkan strategi mengajar dengan memanfaatkan seluruh potensi yang ada di dalam kelas, di luar kelas, di dalam sekolah dan di luar sekolah.
ALAMI
Unsur ini mendorong hasrat alami otak untuk “menjelajah”. Cara apa yang terbaik agar siswa memahami informasi? Kegiatan apa yang dapat diberikan agar pengetahuan dan ketrampilan yang sudah dimiliki siswa, misalnya, dapat membuktikan bahwa kuat lemahnya arus listrik yang mengalir pada penghantar dipengaruhi oleh besarnya perlawanan (resistance) dari penghantar, luas penampang penghantar dan panjang penghantar?, bandingkan dengan keausan ban mobil jika dikaitkan dengan panjang jalan dan kondisi jalan raya. Atau bawa mereka ke pantai, genggam pasir kwarsa yang ada di pantai, ajukan pertanyaan:”Mengapa pasir ini ada disini, darimana sesungguhnya pasir ini berasal!” Seorang anak balita menyentuh ujung obat nyamuk yang terbakar, “Aww” dia menjerit. Tercipta suatu momen belajar dari abstrak:”Panas – Jangan Sentuh, menjadi kongkret.
NAMAI
Setelah siswa melalui pengalaman belajar pada topik tertentu, ajak mereka untuk menulis di kertas, menamai apa saja yang telah mereka peroleh, apakah itu informasi, rumus, pemikiran, tempat dan sebagainya, ajak mereka untuk menempelkan nama-nama tersebut di dinding kelas dan dinding kamar tidurnya.
DEMONSTRASIKAN
Ingatkan Anda ketika pertama kali mengenderai sepeda? Anda mencoba dan jatuh (ini pengalaman). Anda coba lagi, berhenti, bertanya, barangkali Anda dapat informasi atau latihan dari saudara, kakak, atau teman (penamaan). Kemudian Anda benar-benar mengaitkan pengalaman dan nama dengan cara menunjukkan dan melakukannya!
ULANGI
Melalui pengalaman belajar siswa mengerti dan mengetahui bahwa dia memiliki kemampuan (kompetensi) dan informasi (nama) yang cukup, sudah saatnya dia mendemontrasikan dihadapan guru, teman, maupun saudara-saudaranya.
Pengulangan memperkuat koneksi saraf dan menumbuhkan rasa “Aku tahu bahwa aku tahu ini!” Pengulangan sebaiknya dilakukan dengan menggunakan konsep multi kecerdasan (baca buku setiap anak cerdas- Thomas Amstrong).
RAYAKAN
Perayaan adalah ekspresi atau kelompok seseorang yang telah berhasil mengerjakan sesuatu tugas atau kewajiban dengan baik. Umat Islam merayakan Iedul Fitri (kembali suci) karena telah berhasil mengerjakan ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan baik. Jadi, jika siswa sudah mengerjakan tugas dan kewajibannya dengan baik layak untuk dirayakan lewat: bertepuk tangan, jentik jari, atau bernyanyi bersama-sama, atau secarabersama-sama mengucapkan:”AKU BERHASIL!”
Oleh: Achjar Chalil
Di tengah carut marutnya pendidikan kita ungkapan ini mungkin saja pernah kita dengar. Jika ungkapan ini dapat dijadikan acuan, tentu dapat dimunculkan pertanyaan, kenapa?
Thomas Amstrong dalam bukunya, “Setiap Anak Cerdas” menulis sebagai berikut. Di tahun 1980-an John Goodlad mantan dekan School of Education di UCLA, dan rekan-rekannya mengunjungi sekitar seribu ruang kelas di Amerika Serikat. Gambaran yang diberikannya adalah dunia gersang tanpa kegembiraan dalam skala besar. Goodlad menulis, “Kami jarang melihat tawa, sikap antusias yang berlebihan, atau letupan kemarahan yangdirasakan bersama. Kurang dari 3 persen waktu kelas digunakan untuk pujian, komentar menyakitkan, ekspresi sukacita atau humor, atau luapan spontan seperti ‘wow’ atau ‘asyiik’.
Setiap hari, kurang dari 1 persen waktu belajar dipakai untuk melibatkan murid dalam berbagi pendapat atau secara terbuka membahas sesuatu masalah atau topik. Semua ruang kelas sekolah dasar didominasi guru, sedangkan murid tidak berwenang menentukan apapun. Sejak itu keadaan malah menjadi semakin buruk. Meski di era tahun 1990-an terjadi gelombang reformasi, tampaknya sekarang ada pergerakan kembali ke situasi ruang kelas yang bahkan lebih suram,” demikan Goodlad.
Apa yang terungkap dari hasil penelitian ini adalah apa yang terjadi di Amerika Serikat, bagaimana dengan Indonesia? Agaknya persoalan guru dan murid dimanapun agaknya sama. Guru yang berpenghasilan rendah dengan setumpuk tugas ( ini lho tugas guru: 1. Mendidik, 2. Mengajar, 3. Menilai, 4. Mendokumentasikan Hasil Penilaian, Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi: 5. Mengenal karakter dan potensi siswa satu persatu, 6. Menyusun Rencana Pembelajaran, 7. Membuat Silabus, 8. Melaksanakan Remedi, 9. Melakukan Pengayaan). Belum lagi urusan dapur yang enggak pernah stabil.
Tidak salah jika teman penulis Shinse Yap - yang tinggal di Cengkareng Jakarta Barat dan dari tubuhnya bisa keluar energi listrik ratusan volt – berkata, “Guru itu penyakitnya ya darah tinggi, kalo enggak ya Mag.”
Soal murid tak kurang peliknya. Saat ini murid dimanapun di dunia diserang dengan apa yang disebut “westernmind”, kapitalis-hedonis, suatu gaya hidup yang memunculkan paradigma; sukses itu identik dengan mobil mewah, rumah bagus, uang banyak, perempuan cantik, dan bergaya hidup barat, kalo enggak ya enggak modern. Seperti manusia dewasa, murid-murid juga “diserang” oleh perubahan situasi yang tidak jelas arahnya. Nilai-nilai agama dan tradisi yang diajarkan oleh leluhur menjadi jungkir balik ketika harus berhadapan dengan acara-acara televisi yang menampilkan seks bebas, menjanjikan sukses dan terkenal dalam sekejap asal mampu tampil menarik dan bisa sedikit tarik suara dan lain-lain acara yang menafikan: Kerja Keras, Kerja Cerdas, Cinta Ilmu Pengetahuan, Keimanan dan Ketaqwaan.
Dua figur dengan persepsi yang berbeda tentang hidup, bertemu dalam satu ruang yang bernama kelas. Figur yang pertama, guru dengan tugas dan persoalan pribadi yang bisa bikin dia stress, figur yang kedua, murid yang terombang-ambing dalam pusaran perubahan nilai-nilai yang maha dahsyat, yang bisa membuat dia stress dan berujung pada narkoba.
Apa yang terjadi jika kedua figur ini tidak dapat membangun kesepakatan- kesepakatan? Kedua-duanya stress, hasilnya adalah kelas yang muram, belajar mengajar hanya sekedar rutinitas dan menggugurkan kewajiban tanpa makna.
Dalam setiap situasi selalu ada jalan keluar untuk sebuah solusi. Barangkali belajar yang menyenangkan yang penulis cuplik dari bukunya Bobi Deporter : Quantum Teaching/Learning bisa dijadikan renungan dan acuan. Bobbi Deporter, menamai Kerangka Belajar dan Mengajar Interaktif lewat Quantum Teaching/Learning dengan: TANDUR, akronim dari:
TUMBUHKAN
Tumbuhkan minat belajar siswa dengan memuaskan rasa ingin tahu siswa dalam bentuk: Apakah Manfaatnya BAgiKu (AMBAK) jika aku mengikuti topik pelajaran ini dengan guru anu?
Tumbuhkan suasana yang menyenangkan di hati siswa, dalam suasana relaks, tumbuhkan interaksi dengan siswa, masuklah ke alam pikiran mereka dan bawalah alam pikiran mereka ke alam pikiran Anda, yakinkan siswa mengapa harus mempelajari ini dan itu, belajar adalah suatu kebutuhan siswa, bukan suatu keharusan.
Tumbuhkan NIAT YANG KUAT pada diri Anda bahwa Anda akan menjadi guru dan pendidik yang hebat. Tumbuhkan strategi mengajar dengan memanfaatkan seluruh potensi yang ada di dalam kelas, di luar kelas, di dalam sekolah dan di luar sekolah.
ALAMI
Unsur ini mendorong hasrat alami otak untuk “menjelajah”. Cara apa yang terbaik agar siswa memahami informasi? Kegiatan apa yang dapat diberikan agar pengetahuan dan ketrampilan yang sudah dimiliki siswa, misalnya, dapat membuktikan bahwa kuat lemahnya arus listrik yang mengalir pada penghantar dipengaruhi oleh besarnya perlawanan (resistance) dari penghantar, luas penampang penghantar dan panjang penghantar?, bandingkan dengan keausan ban mobil jika dikaitkan dengan panjang jalan dan kondisi jalan raya. Atau bawa mereka ke pantai, genggam pasir kwarsa yang ada di pantai, ajukan pertanyaan:”Mengapa pasir ini ada disini, darimana sesungguhnya pasir ini berasal!” Seorang anak balita menyentuh ujung obat nyamuk yang terbakar, “Aww” dia menjerit. Tercipta suatu momen belajar dari abstrak:”Panas – Jangan Sentuh, menjadi kongkret.
NAMAI
Setelah siswa melalui pengalaman belajar pada topik tertentu, ajak mereka untuk menulis di kertas, menamai apa saja yang telah mereka peroleh, apakah itu informasi, rumus, pemikiran, tempat dan sebagainya, ajak mereka untuk menempelkan nama-nama tersebut di dinding kelas dan dinding kamar tidurnya.
DEMONSTRASIKAN
Ingatkan Anda ketika pertama kali mengenderai sepeda? Anda mencoba dan jatuh (ini pengalaman). Anda coba lagi, berhenti, bertanya, barangkali Anda dapat informasi atau latihan dari saudara, kakak, atau teman (penamaan). Kemudian Anda benar-benar mengaitkan pengalaman dan nama dengan cara menunjukkan dan melakukannya!
ULANGI
Melalui pengalaman belajar siswa mengerti dan mengetahui bahwa dia memiliki kemampuan (kompetensi) dan informasi (nama) yang cukup, sudah saatnya dia mendemontrasikan dihadapan guru, teman, maupun saudara-saudaranya.
Pengulangan memperkuat koneksi saraf dan menumbuhkan rasa “Aku tahu bahwa aku tahu ini!” Pengulangan sebaiknya dilakukan dengan menggunakan konsep multi kecerdasan (baca buku setiap anak cerdas- Thomas Amstrong).
RAYAKAN
Perayaan adalah ekspresi atau kelompok seseorang yang telah berhasil mengerjakan sesuatu tugas atau kewajiban dengan baik. Umat Islam merayakan Iedul Fitri (kembali suci) karena telah berhasil mengerjakan ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan baik. Jadi, jika siswa sudah mengerjakan tugas dan kewajibannya dengan baik layak untuk dirayakan lewat: bertepuk tangan, jentik jari, atau bernyanyi bersama-sama, atau secarabersama-sama mengucapkan:”AKU BERHASIL!”
Oleh: Achjar Chalil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar